KERISAUAN Taufiq Ismail, seorang penyair Angkatan 66, melihat
generasi muda kita buta membaca dan lumpuh menulis sangat beralasan.
Dia melihat hal ini sebagai akibat buruk dari dimatikannya kewajiban
membaca 25 buku dan mengarang 40 jam setahun bagi murid-murid SMA, yang
terjadi sejak berakhirnya sistem pendidikan AMS (setingkat SMA di
zaman Belanda).
Kurikulum pendidikan yang tidak menganggap membaca
dan menulis sebagai pelajaran penting adalah akar penyebab rendahnya
kemampuan menulis pemuda kita saat ini.
Pembelajaran Bahasa Indonesia dan sastra hanya dijejali dengan
nama-nama sastrawan dan judul karyanya, yang semua itu bersifat hapalan.
Siswa hanya diminta untuk bisa menjawab soal-soal ujian multychoice
(pilihan ganda). Minim apresiasi sastra, terbatas penilaian terhadap
karya-karya yang mereka tulis sendiri. Padahal dari bangku sekolah
inilah, seharusnya pemuda kita sejak dini diperkenalkan dengan membaca
sastra dan belajar menulis karya sastra yang baik.