KERISAUAN Taufiq Ismail, seorang penyair Angkatan 66, melihat
generasi muda kita buta membaca dan lumpuh menulis sangat beralasan.
Dia melihat hal ini sebagai akibat buruk dari dimatikannya kewajiban
membaca 25 buku dan mengarang 40 jam setahun bagi murid-murid SMA, yang
terjadi sejak berakhirnya sistem pendidikan AMS (setingkat SMA di
zaman Belanda).
Kurikulum pendidikan yang tidak menganggap membaca
dan menulis sebagai pelajaran penting adalah akar penyebab rendahnya
kemampuan menulis pemuda kita saat ini.
Pembelajaran Bahasa Indonesia dan sastra hanya dijejali dengan
nama-nama sastrawan dan judul karyanya, yang semua itu bersifat hapalan.
Siswa hanya diminta untuk bisa menjawab soal-soal ujian multychoice
(pilihan ganda). Minim apresiasi sastra, terbatas penilaian terhadap
karya-karya yang mereka tulis sendiri. Padahal dari bangku sekolah
inilah, seharusnya pemuda kita sejak dini diperkenalkan dengan membaca
sastra dan belajar menulis karya sastra yang baik.
Hal ini semakin diperburuk dengan rendahnya kemampuan membaca dan
menulis dari guru-guru bahasa Indonesia. Para guru tersebut lebih
disibukkan dengan pembuatan bahan pelajaran, lembaran evaluasi siswa,
ikut pelatihan ini itu, pada akhir-akhir tahun ajaran direpotkan dengan
les tambahan untuk pemantapan nilai bahasa Indonesia para siswa kalau
tidak mau sekolah mereka tercoreng namanya gara-gara banyak siswanya
tidak lulus UN. Suasana yang demikian tidak bersahabat itulah
menyebabkan dangkalnya pembelajaran menulis di sekolah. Lagi pula,
menulis bukanlah poin penilaian yang diujikan pada UN. Buat apa repot,
toh tak ada pentingnya.
Benarkah demikian? Padahal, menulis adalah salah satu tahapan belajar
yang sangat penting bagi peningkatakan kreativitas siswa dan
menumbuhkan daya analisanya. Jangan heran dengan sistem pengujian yang
semuanya pilihan ganda itu menumpulkan kreativitas dan analisa siswa.
Semuanya disandarkan kepada kemampuan hafalan, yang itu tidak lama
bertahan di kepala. Tidak heran jika kemampuan daya saing SDM lulusan
perguruan tinggi di negeri ini sangat rendah. Bahkan, BPS mencatat bahwa
penyerapan lulusan perguruan tinggi di dunia kerja hanya 6 persen.
Sangat rendah dibandingkan dengan mereka yang hanya tamatan SD, yang
tingkat penyerapannya lebih dari 70 persen. Mungkin pekerja yang
tamatan SD itu cuma mengandalkan otot yang tidak butuh keahlian dan
keterampilan khusus. Sedangkan yang bergelar sarjana tentu yang
diutamakan adalah skil atau keahliannya. Keahlian seseorang sangat
berhubungan dengan tingkat kreativitas yang dimilikinya serta kemampuan
analisa yang mendalam sehingga mampu memberikan solusi yang tepat untuk
setiap masalah yang dihadapi.
Berangkat dari masalah inilah, mengapa di negara maju kemampuan membaca
dan menulis adalah sesuatu yang sangat menentukan. Karena membaca dan
menulis adalah dua kemampuan dasar yang mutlak dimiliki oleh seorang
profesional. Sedangkan matematikan, fisika, kimia, biologi, teknik dan
sebagainya hanya alat bantu yang dipakai sesuai dengan kebutuhan
masing-masing bidangnya. Anehnya lagi, pendidikan kita lebih
mengutamakan penguasaan secara “mati-matian” terhadap alat bantu ini
ketimbang memperkuat kemampuan dasar siswa. Mungkin Anda merasa aneh dan
agak geli ketika mendengar dalam kurikulum di negara ini ada pelajaran
“membaca cepat” dan “mengarang 24 jam” seminggu.
Namun itu bukanlah sesuatu yang mengherankan apalagi menggelikan di
negara seperti Selandia Baru, Jepang, Korea Selatan, Jerman dan beberapa
negara maju lainnya. Bahkan di Selandia Baru, yang merupakan salah
satu sistem pendidikan terbaik di dunia, malahan mewajibakan pelajaran
membaca dan menulis sekitar 50 persen dari seluruh jam pelajaran.
Bandingkan dengan negara kita, yang cuma fokus pada nilai UN yang lebih
dari 5,5. Padahal angka-angka tersebut tidak terlalu berguna di dunia
kerja nanti.
Menulis pada dasarnya adalah satu dari empat skil atau keterampilan
dasar komunikasi, selain itu ada keterampilan berbicara, membaca dan
mendengar. Karena itulah, menulis menjadi sangat penting untuk
meningkatkan kemampuan komunikasi seseorang. Dalam berbagai aspek
kehidupan dan terutama di dunia kerja, kemampuan menulis sangat
dituntut. Mereka yang memiliki kemampuan menulis yang baik, biasanya
selalu kelihatan lebih menonjol dibandingkan dengan yang lainnya.
Dalam perkembangan informasi yang demikian pesatnya, menulis adalah
salah satu profesi yang sangat menjanjikan. Kemampuan menulis hampir
tidak bisa dipisahkan dari dunia jurnalistik, baik cetak maupun
elektronik. Lebih luas lagi, menulis dibutuhkan dalam pembuatan film,
sinetron, film animasi, program acara di televisi dan sebagainya.
Sampai-sampai untuk mengonsep sebuah teks pidato pejabat, dibutuhkan
adanya seorangspeechwriter (penulis pidato) yang biasanya adalah penulis
profesional, dan mereka dibayar untuk itu. Mereka yang berprofesi
sebagai penulis buku dan novel untuk saat ini bisa dijadikan sebagai
sumber nafkah. Bahkan, tidak sedikit penulis profesional yang hidup
berkecukupan dari hasil kerja kreatifnya itu.
Selain itu, menulis telah terbukti secara ilmiah mampu meningkatkan
kecerdasan pada anak-anak terutama kecerdasan berbahasa dan kecerdasan
intra-personalnya. Bagi pelajar dan mahasiswa yang memiliki kemampuan
menulis yang baik, biasanya selalu kelihatan lebih menonjol dibandingkan
dengan teman-temannya yang lain. Karena mereka memiliki prestasi dalam
lomba-lomba penulisan mulai dari tingkat daerah sampai nasional.
Mereka ini masuk dalam golongan pelajar top atau bintang sekolah dan
kampus.
Menulis adalah sebuah skil atau keterampilan yang bisa dipelajari dan
dikembangkan. Belajar menulis sama saja dengan belajar bahasa asing.
Tidak dibutuhkan bakat dalam menulis, tapi dengan latihan yang rutin
dan terus-menerus, keseriusan, kesabaran, ketekunan dan semangat pantang
menyerah serta tidak cepat puas.
Walau akhir-akhir ini banyak bermunculan penulis muda, namun itu tidak
berangkat dari basik sekolah. Mereka lahir dari sejumlah komunitas
penulisan yang sejak tahun 90-an marak bermunculan di Tanah Air.
Sebagian besar dari mereka berangkat dari hobi. Bukan karena adanya
pembinaan dan pendampingan secara kontiniu. Semacam bakat alam yang
kemudian terasah di komunitas penulisan, sekolah-sekolah menulis,
pelatihan dan seminar-seminar. Jumlahnya pun fluktuatif seiringan dengan
tren dan denyut komersialisasi pasar yang di-setting oleh penerbit.
Tantangan terdepannya adalah bagaimana meningkatkan kemampuan menulis
pemuda kita. Kekhawatiran yang sama pernah terjadi di Amerika Serikat
sekitar tahun 70-an ketika para pendidik di negara tersebut melihat
kecenderungan menurunnya kemampuan menulis siswa mereka. Tidak menunggu
waktu lama, para praktisi pendidikan di negara Abang Sam itu langsung
berembuk membuat formula yang cocok untuk diterapkan dalam kurikulum
pendidikan mereka, yang pada dasarnya menjadikan menulis sebagai
pelajaran yang menyenangkan. Amerika dan negara-negara maju lainnya
sangat menyadari dengan kemampuan dasar (membaca dan menulis) untuk
meningkatkan daya saing SDM mereka. Sedangkan kita, kerisauan ini sudah
pun terkuak sejak tahun 70-an lalu, namun belum sedikit pun
menggerakkan penentu kebijakan untuk melakukan tindakan nyata. Malahan
justru kebijakan kebalikannya yang diambil. Mungkin dibutuhkan cara
lain, yakni dengan tanpa melibatkan pemerintah. Walau ini setengah
mustahil, tapi bukan berarti tidak bisa dilakukan.***
Joni Lis Efendi, penikmat sastra, penulis buku, esai, dan artikel di
sejumlah media. Mantan Ketua FLP Riau, bermukim di Pekanbaru.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 21 November 2010
km tu jiant super duberrr....hehehe..
BalasHapusapane??
BalasHapus